Sabtu, 09 November 2013

IJTIHAD SUMBER PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM



PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Ijtihad
      Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihaadan, artinya bersungguh sungguh, rajin, giat. Lafad ini menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi,
sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surat An-nahl ayat 38:
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s016/a038.png

mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Menurut Ahmad bin Ahmad bi Ali al muqri al fayumi ijtihad secara bahasa adalah pengerahan kesanggupan dan kekuatan dalam melakukan pencarian sesuatu supaya sampai kepada ujung yang dituju.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan ijtihad secara istilah. Menurut Abu Zahrah secara istilah ijtihad berarti upaya seseorang ahli fiqih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci. Sedangkan menurut Al-amidi ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara.
2.2   Dasar-Dasar Ijtihad
Q.S ar-rum ayat 21:
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s030/a021.png



dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Sabda nabi saw. Yang artinya:
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan 2 pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. (H.R Muslim)



2.3   Rukun Ijtihad
1.    Al waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh Nas.
2.    Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.    Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4.    Dalil syara untuk menetukan suatu hukum bagi mujtahid.
2.4   Syarat-Syarat Mujtahid
Banyak pendapat mengenai syarat-syarat seorang mujtahid. Menurut Muhammad bi Ali bin Muhammad al syaukani syarat mujtahid adalah sbb:
1.    Mengetahui Al Quran dan Sunnah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.
2.    Mengetahui Ijma
3.    Mengetahui bahasa arab
4.    Mengetahui ilmu usul fiqih
5.    Mengetahui nasikh-mansukh
Menurut fakkhr al Din muhamad bin umar bin Husain al razai’ syarat seorang mujtahid sbb:
1.    Mukallaf
2.    Mengetahui makna-makna lapad dan rahasianya
3.    Mengetahui keadaan mukhathab
4.    Mengetahui keadaan lapad, apakah memiliki korenah atau tidak.

2.5   Tingkatan Mujtahid
Menurut Muhaimin dkk, sesuai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, mujtahid terbagi menjadi 2 tingkatan:
a)    Mujtahid muthlaq, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya dan mampu menerapkan dasar dasar pokok sebagai landasan ijtihadnya. Mujtahid muthlaq dibagi dua, yaitu:
a)      Muthlaq muntaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang Ia susun sendiri. Contoh Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali.
b)      Muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq muntaqil tetapi Ia tidak menyusun metodenya sendiri. Contoh Al muzani dari madzhab Syafi’i.
b)   Mujtahid madzhab, yaitu mujtahid yang mampu mengeluarkan hokum-hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah disusun oleh madzhabnya itu. Kelompok mujtahid ini terbagi 2, yaitu:
a)    Mujtahid takhrij
b)   Mujtahid tajrih (mujtahid fatwa).
2.6    Hukum Ijtihad
1.    Wajib a’in, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang tanpa kepastian hukum, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam Nas.
2.    Wajib kifayah, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa kepastian hukum dan selain ia masih ada mujtahid lain.
3.    Sunat, jika dilakukan dalam persoalan yang tidak atau belum terjadi.
4.    Haram, jika dilakukan atas peristiwa yang telah jelas hukumnya baik dalam al quran, sunah, atau ijma.
2.7     Bentuk dan Metode Ijtihad
1.      Ijmak
Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafat Rosulullsh saw. Atas suatu hukum syara dalam suatu kasus tertentu.
2.      Qiyas
Yaitu menetapkan suatu hokum baru yang belum ada Nas-nya dengan hukum yang sudah ada Nas-nya karena ada persamaan illat (maksud dan tujuan) hukum dari kedua peristiwa itu.
3.      Istihsan
Yaitu perpindahan dari suatu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain, Karena ada dalil syara yang mengharuska berpindah.
4.      Mashlahah mursalah
Yaitu suatu suatu kemaslahatan yang tidak di tetapkan syara dan tidak ada pula Nas dan dalil syaranya, baik yang memerintahkan atau yang melarang.
5.      ‘Urf
Yaitu adat kebiasaan masyarakat baik berupa perkataan atau perbuatan yang baik, yang karenanya dapat di benarkan oleh syara.
6.      Istishab
Tetapnya suatu hukum selama tidak ada yang merubahnya.
7.      Syar’un man Qoblana
Syariat yang telah terjadi pada masa nabi sebelum Muhammad saw. Kemudian syariat itu masih dipergunakan
2.8   Perbedaan Hasil Ijtihad
      Ada beberapa perbedaan hasil ijtihad,pertama dilihat dari sifat kata yang ada (baik dalam al-Qurán maupun hadist), terkadang dalam satu kata mengundang makna ganda. Bahkan keduanya bersifat hakiki. Contoh klasik adalah istilah quru’ dalam QS. Albaqarah : 228 ulama Hanifiah menggunakan makna quru’sebagai haidh ( menstruasi) sedangkan ulama Syafi’iah memakai thuhr (suci). Implikasi hukumnya jelas berbeda. Bagi imam Hanafi jika seorang istri telah bercerai mau menikah lagi dengan laki-laki lain, ia cukup menunggu 3x haidh ; sedangkan menurut imam Syafi’i , ia harus menunggu 3x suci.
      Hukmah quru’ diartikan dengan haidh (dalam pandangan hanafiah) adalah agar wanita telah bercerai dari suaminya bisa segera menikah lagi degna laki-laki lain pilihannya. Sementara hikmah diartikan dengan suci (dalam pandangan Syafi’iah) adalah memberi kesempatan yang luas kepada suami istri yang telah  bercerai itu untuk merenung baik buruknya perceraian yang telah dijatuhkannya, sehingga keputusan apapun yang mereka ambil (apa tetap bercerai atau rujuk kembali) benar-benar telah dipertimbangkannya matang-matang.
      Ada lagi satu kata yang mempunyai makna hakiki dan majazi (kiasan) sekaligus. Contohnya lafal yanfu dalam QS. Almaidah : 33. Ulama umumnya mengartikan yanfu  diusur dari kampung halaman. Dan ini memang hakikinya. Tapi ulama hanifiah mengartikannya dengan penjara. Implikasinya jelas berbeda. Ulama menetapkan hukuman bagi orang-orang yang memerangi alloh dan rasulnya, atau membuat kerusakan di bumi, dengan hukuman “diusir dari kampung halamannya”. Sedangkan ulama hanifiah menetapkan “penjara “ sebagai hukumannya.
Dua kasus di atas merupakan contoh yang sangat sederhana proses dan hasil ijtihad dengan maksud agar mudah dicema. Jelas bahwa lafal Alquran dan hadist itu demikian adanya,sehingga ter-kadang menimbulkan perbedaan paham.
Contoh lainnya lagi adalah dalam menepatkan mana kata yang qathï(memiliki kepastian) dan mana pula lafal yang  zhanni (tidak memiliki kepastian). Menurut quraish shiab, dilihat dari segi makna, ayat yang qath’i mempunyai arti yang pasti(maknanya), sedangkan ayat yang zhanni adalah tidak pasti. Pada ayat yang  zhanni inilah ada peluang untuk bebeda pandangan. Untuk menentukan manakah ayat yang qath’i biasanya memerlukan kesepakatan ulama. Tapi kesepakatan itu pun tidak secara resmi diumumkan, misalnya bahwa ayat itu qaht’i. Kitesepakatan itu terjadi hanya secar kebetulan,alamiah.imam Syafiï,lanjut Quraish Shihab (1992:142),dalam Risalah~nya menulis: ” saya tidak berkata, demikian pula para ulama, bahwa ini telah disepakati.”
Lebih jauh lagi umat islam, termasuk sebagaian ulamanya, kerap-kali beranggapan bahwa suatu masalah telah menjadi kesepakatan ulma padahal sebenarnya hal itu baru merupakan kesepakatan di ling-kungan madzhabnya. Oleh sebab itu, yang disepakati ke qath’i-annya tentang sesuatu makna perlu diteliti secara cermat.
      Dengan demikian pemahaman pengambilan makna dari nash Alquran, atau pengambilan makna dari nash Alquran (termasuk dari hadist) mengandung kemungkinan hasil yang berbeda. Oleh karena itu sikap kita yang sangat penting terhadap hasil ijtihad(sebagai proses kegiatan akal) hendaknya senantiasa bijak. Artinya,pertama,perbedaan itu harus disadari keberadaannya;dan waktu antara dahulu dengan sekarang, malah dengan yang akan datang adalah berbeda. Hasil ini sejalan dengan perkembangan zaman ; dan ketiga karena hasil ijtihad dipengaruhi oleh ruang dan waktu, maka ia belum tentu cocok untuk masa sekarang. Sama halnya, hasil ijtihad sekarang juga belum tentu cocok untuk masa yang akan datang.  Dan begitulah seterusnya (Qurasih Shihab : 1992 : 142)
Load disqus comments

0 komentar