PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihaadan, artinya
bersungguh sungguh, rajin, giat. Lafad
ini menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan,
atau yang tidak disenangi,
sebagaimana
terdapat dalam Al-Quran surat An-nahl ayat 38:

mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah
tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan
(pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah,
akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Menurut
Ahmad bin Ahmad bi Ali al muqri al fayumi ijtihad secara bahasa adalah
pengerahan kesanggupan dan kekuatan dalam melakukan pencarian sesuatu supaya
sampai kepada ujung yang dituju.
Para
ulama berbeda pendapat dalam mengartikan ijtihad secara istilah. Menurut Abu
Zahrah secara istilah ijtihad berarti upaya seseorang ahli fiqih dengan
kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci. Sedangkan menurut Al-amidi ijtihad adalah pengerahan
segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara.
2.2
Dasar-Dasar
Ijtihad
Q.S
ar-rum ayat 21:

dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Sabda
nabi saw. Yang artinya:
Apabila
seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia
mendapatkan 2 pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu
salah maka ia mendapatkan satu pahala. (H.R Muslim)
2.3
Rukun
Ijtihad
1. Al
waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak
diterangkan oleh Nas.
2. Mujtahid,
ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad
dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid
fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4. Dalil
syara untuk menetukan suatu hukum bagi mujtahid.
2.4
Syarat-Syarat
Mujtahid
Banyak
pendapat mengenai syarat-syarat seorang mujtahid. Menurut Muhammad bi Ali bin
Muhammad al syaukani syarat mujtahid adalah sbb:
1. Mengetahui
Al Quran dan Sunnah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.
2. Mengetahui
Ijma
3. Mengetahui
bahasa arab
4. Mengetahui
ilmu usul fiqih
5. Mengetahui
nasikh-mansukh
Menurut
fakkhr al Din muhamad bin umar bin Husain al razai’ syarat seorang mujtahid
sbb:
1. Mukallaf
2. Mengetahui
makna-makna lapad dan rahasianya
3. Mengetahui
keadaan mukhathab
4. Mengetahui
keadaan lapad, apakah memiliki korenah atau tidak.
2.5
Tingkatan
Mujtahid
Menurut
Muhaimin dkk, sesuai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid,
mujtahid terbagi menjadi 2 tingkatan:
a) Mujtahid
muthlaq, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya
dan mampu menerapkan dasar dasar pokok sebagai landasan ijtihadnya. Mujtahid
muthlaq dibagi dua, yaitu:
a) Muthlaq
muntaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan
dasar-dasar yang Ia susun sendiri. Contoh Abu hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’I, dan Imam Hambali.
b) Muthlaq
muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq muntaqil tetapi Ia
tidak menyusun metodenya sendiri. Contoh Al muzani dari madzhab Syafi’i.
b) Mujtahid
madzhab, yaitu mujtahid yang mampu mengeluarkan hokum-hukum agama yang tidak
dan atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya dengan cara menggunakan metode yang
telah disusun oleh madzhabnya itu. Kelompok mujtahid ini terbagi 2, yaitu:
a) Mujtahid
takhrij
b) Mujtahid
tajrih (mujtahid fatwa).
2.6
Hukum Ijtihad
1. Wajib
a’in, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan
hilang tanpa kepastian hukum, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak
jelas hukumnya dalam Nas.
2. Wajib
kifayah, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu
akan lenyap tanpa kepastian hukum dan selain ia masih ada mujtahid lain.
3. Sunat,
jika dilakukan dalam persoalan yang tidak atau belum terjadi.
4. Haram,
jika dilakukan atas peristiwa yang telah jelas hukumnya baik dalam al quran,
sunah, atau ijma.
2.7
Bentuk
dan Metode Ijtihad
1. Ijmak
Yaitu kesepakatan
seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafat Rosulullsh
saw. Atas suatu hukum syara dalam suatu kasus tertentu.
2. Qiyas
Yaitu menetapkan suatu hokum baru yang belum ada
Nas-nya dengan hukum yang sudah ada Nas-nya karena ada persamaan illat (maksud
dan tujuan) hukum dari kedua peristiwa itu.
3. Istihsan
Yaitu perpindahan dari suatu hukum yang telah
ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain, Karena ada dalil syara yang
mengharuska berpindah.
4. Mashlahah
mursalah
Yaitu suatu suatu kemaslahatan yang tidak di
tetapkan syara dan tidak ada pula Nas dan dalil syaranya, baik yang
memerintahkan atau yang melarang.
5. ‘Urf
Yaitu adat kebiasaan masyarakat baik berupa
perkataan atau perbuatan yang baik, yang karenanya dapat di benarkan oleh
syara.
6. Istishab
Tetapnya suatu hukum selama tidak ada yang
merubahnya.
7. Syar’un
man Qoblana
Syariat yang telah terjadi pada masa nabi sebelum
Muhammad saw. Kemudian syariat itu masih dipergunakan
2.8 Perbedaan Hasil Ijtihad
Ada beberapa perbedaan hasil
ijtihad,pertama dilihat dari sifat kata yang ada (baik dalam al-Qurán maupun
hadist), terkadang dalam satu kata mengundang makna ganda. Bahkan keduanya
bersifat hakiki. Contoh klasik adalah istilah quru’ dalam QS. Albaqarah
: 228 ulama Hanifiah menggunakan makna quru’sebagai haidh ( menstruasi)
sedangkan ulama Syafi’iah memakai thuhr (suci). Implikasi hukumnya jelas
berbeda. Bagi imam Hanafi jika seorang istri telah bercerai mau menikah lagi
dengan laki-laki lain, ia cukup menunggu 3x haidh ; sedangkan menurut imam
Syafi’i , ia harus menunggu 3x suci.
Hukmah quru’ diartikan dengan
haidh (dalam pandangan hanafiah) adalah agar wanita telah bercerai dari
suaminya bisa segera menikah lagi degna laki-laki lain pilihannya. Sementara
hikmah diartikan dengan suci (dalam pandangan Syafi’iah) adalah memberi
kesempatan yang luas kepada suami istri yang telah bercerai itu untuk merenung
baik buruknya perceraian yang telah dijatuhkannya, sehingga keputusan apapun
yang mereka ambil (apa tetap bercerai atau rujuk kembali) benar-benar telah
dipertimbangkannya matang-matang.
Ada lagi satu kata yang mempunyai makna
hakiki dan majazi (kiasan) sekaligus. Contohnya lafal yanfu dalam QS.
Almaidah : 33. Ulama umumnya mengartikan yanfu diusur dari kampung
halaman. Dan ini memang hakikinya. Tapi ulama hanifiah mengartikannya dengan
penjara. Implikasinya jelas berbeda. Ulama menetapkan hukuman bagi orang-orang
yang memerangi alloh dan rasulnya, atau membuat kerusakan di bumi, dengan
hukuman “diusir dari kampung halamannya”. Sedangkan ulama hanifiah menetapkan
“penjara “ sebagai hukumannya.
Dua
kasus di atas merupakan contoh yang sangat sederhana proses dan hasil ijtihad
dengan maksud agar mudah dicema. Jelas bahwa lafal Alquran dan hadist itu
demikian adanya,sehingga ter-kadang menimbulkan perbedaan paham.
Contoh
lainnya lagi adalah dalam menepatkan mana kata yang qathï(memiliki
kepastian) dan mana pula lafal yang zhanni (tidak memiliki
kepastian). Menurut quraish shiab, dilihat dari segi makna, ayat yang qath’i
mempunyai arti yang pasti(maknanya), sedangkan ayat yang zhanni adalah
tidak pasti. Pada ayat yang zhanni inilah ada peluang untuk bebeda
pandangan. Untuk menentukan manakah ayat yang qath’i biasanya memerlukan
kesepakatan ulama. Tapi kesepakatan itu pun tidak secara resmi diumumkan,
misalnya bahwa ayat itu qaht’i. Kitesepakatan itu terjadi hanya secar
kebetulan,alamiah.imam Syafiï,lanjut Quraish Shihab (1992:142),dalam
Risalah~nya menulis: ” saya tidak berkata, demikian pula para ulama, bahwa ini
telah disepakati.”
Lebih
jauh lagi umat islam, termasuk sebagaian ulamanya, kerap-kali beranggapan bahwa
suatu masalah telah menjadi kesepakatan ulma padahal sebenarnya hal itu baru
merupakan kesepakatan di ling-kungan madzhabnya. Oleh sebab itu, yang
disepakati ke qath’i-annya tentang sesuatu makna perlu diteliti secara
cermat.
Dengan demikian pemahaman pengambilan
makna dari nash Alquran, atau pengambilan makna dari nash Alquran (termasuk
dari hadist) mengandung kemungkinan hasil yang berbeda. Oleh karena itu sikap
kita yang sangat penting terhadap hasil ijtihad(sebagai proses kegiatan akal)
hendaknya senantiasa bijak. Artinya,pertama,perbedaan itu harus disadari
keberadaannya;dan waktu antara dahulu dengan sekarang, malah dengan yang akan
datang adalah berbeda. Hasil ini sejalan dengan perkembangan zaman ; dan ketiga
karena hasil ijtihad dipengaruhi oleh ruang dan waktu, maka ia belum tentu
cocok untuk masa sekarang. Sama halnya, hasil ijtihad sekarang juga belum tentu
cocok untuk masa yang akan datang. Dan begitulah seterusnya (Qurasih
Shihab : 1992 : 142)
0 komentar